Senyuman Hangat
Cecilia Friska Amalia.
“What can you say about a twenty-five-years-old girl who died? That she was beautiful, and brilliant. That she loved Mozart and Bach, and the Beatles. And me.”
Aku membaca kalimat pertama pada buku Love Story karya Erich Segal. Hmm… jadi teringat seorang cowok di luar sana…
***
Hasna Arya Pradana
Terdengar suara motor berhenti di depan rumahku.
Tiin… Tiinn…
“Hey, ayo! Balapannya bentar lagi mulai nih!” teriak Andry.
“Sabar, man. Gue ngambil motor dulu.” jawabku dengan santai sembari menuju garasi mengambil motor.
Aku bergegas keluar rumah sebelum bundaku melihat kepergianku. Soalnya, aku tak pernah bisa menolak jika beliau berkata tidak. Maaf ya, bundaku tersayang. Hehe... Aku langsung tancap gas ke lokasi balapan bersama Andry. Sampai di sana, ternyata acara sudah dimulai. Huh! Yasudahlah, aku nikmati saja acara balapan motor itu.
Saat acaranya selesai, hari sudah sangat malam. Tapi, aku malas pulang ke rumah. Akhirnya aku menginap di rumah temanku tadi. Andry adalah temanku sejak kecil. Dia yang tahu seluk beluk kehidupanku. Dari masa laluku yang suram suram cerah, alasanku jadi orang yang seperti ini, orang yang paling aku benci, klub sepakbola favoritku, band favoritku. Hm... Pokoknya semuanya deh. Termasuk musuh bebuyutanku, udang.
Esoknya, Andry membangunkanku untuk berangkat ke sekolah.
”Bentar ah, lagi jam 7 pagi juga,” jawabku. Andry lalu berangkat duluan. Sebenarnya aku malas berangkat sekolah. Tapi aku ingin bertemu seseorang. Akhirnya saat jam kos-kosan Andry menunjukkan pukul 8 tepat, aku pun berangkat sekolah. Sesampainya di sekolah, gerbang sekolah telah ditutup. Yaiyalah, orang masuknya jam 7. Aku lalu lewat jalan belakang yang khusus dibuatkan untuk orang gaul sepertiku. Saat masuk kelas, ternyata seorang guru sudah duduk tidak manis di kursinya. Tapi, memang aku peduli?
”Arya! Kamu tahu jam berapa sekarang?!” bentak Pak Bahasa Jerman. Nggak tahu deh, siapa nama beliau.
Aku lalu melihat tangan kiriku, tempat jam tangan biasanya berada, walaupun aku tidak memakai jam tangan. Aku lalu mengambil spidol yang berwarna sama dengan warna ketujuh pada pelangi. Kemudian aku menggambar jam tangan di tangan kiriku.
”Kalu menurut jam saya yang menurut saya luarbiasa tepatnya sih, Pak. Ini baru jam 6.59,” jawabku dengan gayaku yang cool. Yah, setidaknya menurutku.
Hampir semua orang tertawa, bahkan Pak Guru pun tersenyum menahan tawa. Tapi cewek itu tidak tersenyum sedikitpun. Eh, tidak. Dia sekarang tersenyum, senyum sinis.
Karena terlambat, tentu saja aku lalu dihukum berdiri di depan kelas selama jam pelajaran Pak Geografi berlangsung. Selama masa hukuman, aku memandang cewek itu lekat-lekat. Cecil, namanya. Tapi dia tetap tak berekspresi. Kenapa ya, dia tidak pernah mau berbicara denganku? Barang tersenyum pun dia tidak pernah. Padahal dengan orang lain dia sangat ramah. Hah! Akhirnya aku mencoba menebar pesonaku pada cewek di depannya. Netta, selir ketigaku. Selir pertama dan keduaku ada di sekolah lain, sedangkan posisi permaisuri masih kusimpan untuk seorang Cecilia Friska Amalia, cewek itu.
Bel tanda jam-jam di neraka telah usai berdering. Aku pun pulang ke rumah. Di jalan, aku bertemu dengan seorang bapak. Sepertinya aku mengenalnya. Ah, dia ’kan teman ayahku. Ayahku? Eh, emang aku punya ayah? Seingatku, setahun lalu ada lelaki yang membuat bundaku kecewa dan meninggalkannya begitu saja. Tapi, emang dia ayahku? Aku mendengus kesal.
”Arya? Arya ya?” bapak itu memanggil namaku.
Aku lalu membenarkannya. Bapak itu, Pak Iqbal, lalu mengajakku duduk-duduk di gardu tak jauh dari tempat kami bertemu.
”Bagaimana kabarmu sekarang?”
”Ya beginilah, Pak. Datar-datar saja,”
”Bolehkah saya memberi nasihat untukmu?”
”Silahkan Pak,” jawabku. Mungkin dia melihat penampilanku yang urakan. Wah, butuh suplai kapas untuk menutupi telingaku.
”Hidup itu bukan hidup Ar, kalau hanya ada senyuman. Hidup itu juga tidak penah terduga kapan berakhirnya. Bisa nanti, bulan depan, bahkan detik ini. Kamu masih percaya surga dan neraka kan? Coba bayangkan, jika hari ini adalah hari terakhir kamu berjalan, hari terakhir kamu melihat orang yang kamu sayang, hari terakhir kamu hidup, dan besok adalah ajalmu. Apa yang akan kamu rasakan setelah dijemput oleh maut? Tenang-tenang saja, atau menyesal karena tidak memanfaatkan hidup sebaik-baiknya? Hmm... itu semua tergantung perilaku kita selama ini kan Ar?”
Hening.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Pada akhirnya aku hanya tersenyum Hmm... ternyata Pak Iqbal orang yang baik. Andai beliau jadi ayahku...
”Eh, kamu tahu kabar ayahmu?” tanya Pak Iqbal.
”Eh, kurang tahu Pak. Kabar terakhir yang saya dengar, dia pindah ke Bandung,”jawabku. Huh, terpaksa aku mengakuinya sebagai ayahku.
”Dia terkena demam berdarah, Ar. Dia masih belum sadar. Tapi dia selalu mengigau, memanggil namamu, nama-nama keluarganya. Sepertinya dia telah menyesali semuanya. Maukah kamu menjenguknya?”
“Ya, besok kapan-kapan Pak,” jawabku dengan malas.
Setelah berbicara panjang lebar. Akhirnya Pak Iqbal pamit karena ada urusan penting. Aku pun pulang ke rumah.
Esok harinya, aku bersiap-siap berangkat ke sekolah. Saat berpamitan dengan bunda, beliau berpesan agar aku belajar dengan rajin. Aku pun mengiyakan sambil berjanji dalam hati untuk tidak berlaku aneh, khusus untuk hari ini. Walaupun nakal, aku memegang teguh dasadarma ke-4 lho.
Di jalan, aku berpapasan dengan Andry. Ia mengajakku untuk membolos, katanya ada balapan motor lagi pagi ini. Aku menolaknya dengan halus.
”Ayolah... Gak ada loe gak rame, bro. Habis balapan, ada pesta besar lho. Ditraktir sama Si Bos Mafia,” rayu Andry.
Wah, pilihan sulit nih. Akhirnya aku menyetujuinya. Walaupun hati nuraniku berkata untuk tidak pergi.
Balapan motor berlangsung alot. Tapi lalu dimenangkan oleh Si Bos Mafia. Wah, jadi pesta besar dong! Kami lalu tancap gas ke tempat pesta. Andry mengambil motornya.
“Hari ini gue lagi baik nih. Jadi gue aja yang di depan. Okay?” tawarku
“Enggak usah. Aku aja yang di depan. Muka loe pucet gitu. Jadi ngeri gue,”
“Gue gak apa-apa kok. Udahlah, gue aja yang di depan. Loe duduk aja di belakang. Keselamatan Anda adalah jiwaku, Raja,” candaku.
Andry akhirnya mengalah. Karena kami lewat jalan desa, aku memacu motorku dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba... Siiiing… Mataku buram sejenak. Aku mengucek-ucek mataku. Apaan sih, ganggu aja. Mataku normal kembali. Tapi, aku lalu disambut dengan tiga polisi tidur yang lumayan tinggi.
”Gila! Ada-ada aja sih,” umpatku sambil menengok ke belakang.
Tiiinn... Tiinn...
”Aaaaa!” Braakk!
Gelap.
Saat aku terbangun, semuanya putih. Ternyata aku ada di rumah sakit. Badanku terasa sakit semua akibat kecelakaan kemarin lusa. Kondisiku sangat lemah. Rasanya aku sudah tak sanggup lagi hidup di dunia ini. Di samping kananku, bunda menatapku dengan penuh kasih sayang. Beliau menanyakan keadaanku. Capek. Itu yang tersirat dari wajahnya. Aku jadi merasa bersalah karena telah berbohong padanya.
Keesokan harinya, tubuhku mulai membaik. Aku mulai bisa mengamati keadaan sekelilingku. Ibuku memberikan sepucuk surat, yang berisi pernyataan bahwa aku diskors selama beberapa hari karena angka pelanggaranku telah mencapai 50. Huh. Mungkin ini cobaan pertamaku di hari yang baru. Baiklah, aku akan menjalaninya dengan ikhlas hati. Tiba-tiba aku teringat dengan sahabatku.
”Andry dimana, Bun? Kok aku tidak mendengar tawa cemprengnya?” tanyaku pada bunda.
Bunda terdiam sejenak. Roman wajahnya berubah total. Perasaanku tidak enak.
”Dia sudah tenang disana, nak,”
Deg! Tiba-tiba aku ingin menangis. Kini tak ada lagi tawa khasnya, tak ada lagi banyolan konyolnya, tak ada lagi nasihat anehnya, kini tak ada lagi. Tak ada lagi.
Saat aku merenung. Ada sesosok lelaki yang masuk ke kamarku. Sesosok lelaki yang amat kubenci. Dia tersenyum padaku walau tubuhnya masih terlihat lemah. Ah, ternyata aku sangat merindukan senyum hangat itu, ternyata aku masih menyayanginya. Ayahku. Aku jadi teringat nasihat Pak Iqbal beberapa hari yang lalu. Aku lalu menangis sejadi-jadinya. Aku meminta maaf pada bunda dan ayah. Kini aku menyesali semuanya. Aku ingin menata lagi hidupku yang berantakan.
Saat aku memeluk tubuh hangat ayahku, tak sengaja aku melihat sesesorang mengintip di balik pintu. Tapi sosok itu lalu pergi. Cecil kah?
Beberapa hari kemudian, setelah kesehatanku pulih, setelah masa hukumanku habis, aku kembali ke sekolah. Di sekolah, aku disambut oleh teman-temanku. Sambutan mereka sejenak membuatku lupa akan kepergian Andry. Aku sadar, aku mempunyai banyak salah dengan mereka. Aku lalu menyalami temanku satu per satu untuk meminta maaf.
”Eh, loe kesambet ya Ar?” celutuk Dandy.
”Kayaknya Arya kemarin kecelakaan di kuburan deh, bro. Jadi kesambet gini,” Vino menanggapi perkataan Dandy.
Seisi kelas tertawa. Bahkan Cecil yang kini ada di depanku pun tertawa. Eh, tidak. Dia kini tersenyum. Senyum yang ditujukan khusus untukku. Senyum hangat.
Oke, Cecil. Mulai sekarang, seorang Hasna Arya Pradana akan berubah untuk seorang Cecilia Friska Amalia. Eh, nggak jadi ding. Hasna Arya Pradana akan berubah untuk Bunda, Ayah, Andry, dan kamu, Cecil! Hehe...
***
Cecilia Friska Amalia.
Aku tersadar dari lamunanku akan dirinya. Jam menunjukkan pukul 15.30. Aku lalu bersiap-siap untuk pergi ke sebuah cafe. Cafe tempat aku akan menjawab pernyataan cintanya. Pernyataan cinta Hasna Arya Pradana.
Hmm… Jadi menurutku…
“What can you say about a seventeen-years-old boy who has changed? That he is kind, and wonderful. That he loves AC Milan and Avenged Sevenfold, and his family. And me.”
And so do I. :)
***
Note: cerita ini hanyalah fiktif belaka . apabila ada kesamaan alur hidup , tokoh , maupun tempat . segalanya hanyalah takdir belaka :P
0 komentar:
Post a Comment